Bosan, Jakarta, dan Makna Hidup di Antara Hingar Bingar
Oleh : Rahmah Kurniawaty
Jakarta, kota yang tak pernah tidur. Jalanannya macet, gedung-gedung menjulang, dan hiruk pikuknya seakan tak memberi jeda. Namun di balik gemerlap cahaya neon, ada kisah manusia yang bergulat dengan rasa bosan, lelah, dan rutinitas yang menguras jiwa.
Aan, seorang ibu dua anak yang bekerja di sebuah perusahaan swasta, setiap pagi berangkat pukul 5 subuh. Perjalanannya ke kantor bisa memakan waktu hampir dua jam. Pulang, ia masih harus mengurus rumah, menemani anak belajar, lalu terlelap dengan tubuh yang letih. Bosan kerap menghampirinya, terutama saat ia merasa hidupnya hanya berputar pada pekerjaan, jalanan macet, dan rutinitas rumah tangga.
Di sisi lain, Arif, seorang bapak yang bekerja sebagai pegawai negeri, juga merasakan hal serupa. Meski pekerjaannya stabil, rutinitas kantor yang monoton, laporan yang menumpuk, ditambah tanggung jawab keluarga membuatnya merasa terjebak dalam lingkaran tak berujung. Ia pernah berkata pada temannya, “Seakan-akan hidupku ini seperti kereta rel listrik, sudah jelas relnya, jelas stasiunnya, tapi tak ada kejutan di sepanjang jalan.”
Kisah Aan dan Arif adalah cermin banyak orang di Jakarta. Kota besar ini menjanjikan peluang, tapi sekaligus menghadirkan jebakan rutinitas yang membuat jiwa kering.
Rasa Bosan Itu Manusiawi
Bosan adalah sinyal, bukan sekadar kelemahan. Dalam pandangan psikologi, bosan hadir ketika otak tidak lagi menemukan tantangan atau makna dari aktivitas yang dilakukan. Dalam pandangan spiritual, bosan bisa menjadi ujian, sebagaimana firman Allah:
“Dan sungguh akan Kami berikan cobaan kepadamu dengan sedikit rasa takut, lapar, kekurangan harta, jiwa, dan buah-buahan. Dan sampaikanlah kabar gembira kepada orang-orang yang sabar.” (QS. Al-Baqarah: 155)
Rasa bosan bisa jadi bagian dari cobaan itu, sebagai alarm jiwa bahwa kita perlu berhenti sejenak, merefleksi, dan mencari kembali makna.
Alarm Jiwa yang Menyadarkan
Ketika Aan duduk di busway sambil menatap keluar jendela, ia pernah bertanya dalam hati: Apakah hidupku hanya seperti ini saja? Pertanyaan itu, meski sederhana, adalah alarm jiwa. Begitu juga dengan Arif, saat ia melihat temannya mendadak meninggal karena serangan jantung, ia mulai berpikir ulang: Apa artinya semua rutinitas ini, jika suatu hari nanti kita juga akan dipanggil pulang?
Satu per satu kenalan, tetangga, bahkan keluarga, ada yang dipanggil menghadap Ilahi. Setiap kabar duka yang datang membawa ingatan baru: hidup ini fana, dan waktu bersama orang-orang terkasih sangatlah terbatas. Dari sinilah, bosan bisa berubah menjadi pengingat akan kefanaan.
Psikologi Rasa Bosan di Otak dan Hati
Secara ilmiah, bosan muncul karena otak kita mencari variasi dan dopamin—hormon penghargaan—tidak lagi terpicu oleh rutinitas yang sama. Namun, hati manusia berbeda. Hati bosan bukan hanya karena rutinitas, tapi juga karena kehilangan rasa syukur, lupa pada tujuan, dan lalai menautkan pekerjaan dengan makna ibadah.
Rasulullah ﷺ mengingatkan:
“Sesungguhnya setiap amal tergantung niatnya, dan setiap orang hanya mendapatkan sesuai dengan apa yang ia niatkan.” (HR. Bukhari & Muslim)
Jika rutinitas yang sama diulang tanpa niat yang segar, ia akan terasa kering. Namun jika pekerjaan yang sama diniatkan untuk ibadah, ia bisa jadi ladang pahala.
Filter Logika Jernih: Mengelola Bosan
Bagaimana caranya? Logika jernih membantu kita menyaring rasa bosan. Saat Aan merasa jenuh, ia mencoba mengubah perspektif: perjalanan panjangnya ia isi dengan mendengarkan murottal Qur’an atau podcast inspiratif. Arif pun mulai meluangkan waktu akhir pekan untuk olahraga bersama anak-anak, agar rutinitas tak hanya berputar pada kantor.
Kuncinya adalah mencari celah kecil dalam rutinitas untuk memberi ruang makna baru.
Kisah Inspiratif: Bosan Jadi Berkah
Ada seorang sahabat Arif yang dulunya juga merasa bosan dengan pekerjaannya. Namun, ia mulai menulis catatan harian tentang apa yang ia syukuri setiap hari. Lama-lama catatan itu berubah menjadi buku kecil motivasi, yang kini dibaca banyak orang. Dari bosan, lahirlah karya.
Aan pun, dengan segala kesibukan, akhirnya belajar baking bersama anaknya. Dari sekadar mengusir bosan, ia kini menerima pesanan kue kecil-kecilan. Bosan bisa jadi pintu rezeki.
Pandangan Islam: Bosan sebagai Ujian
Islam memandang hidup bukan hanya soal bekerja, tapi tentang keseimbangan. Rasulullah ﷺ bersabda:
“Sesungguhnya badanmu memiliki hak atasmu, matamu memiliki hak atasmu, dan keluargamu memiliki hak atasmu.”(HR. Bukhari)
Rutinitas yang padat sering membuat kita lupa membagi hak-hak itu. Bosan datang untuk mengingatkan agar kita tak berlebihan di satu sisi, tapi melupakan sisi lain.
Tips Praktis: Menyulap Bosan Jadi Energi
Alih-alih memandang bosan sebagai musuh, lihatlah ia sebagai sahabat yang mengingatkan. Ubah sedikit pola kerja, berikan ruang hobi, sisipkan ibadah yang menenangkan hati. Dengan begitu, bosan bisa menjadi energi baru, bukan penghalang.
Zero Point: Refleksi Harian
Di tengah rutinitas, penting memberi ruang “zero point”—waktu hening untuk refleksi. Bisa lima menit sebelum tidur, atau saat perjalanan. Ingatlah kembali tujuan hidup, bersyukur atas nikmat, dan berdoa agar hati tetap terjaga.
Refleksi hari
Di jalanan macet aku termenung,
Di meja kerja aku terpaku,
Rasa bosan datang mengetuk,
Bukan musuh, tapi sahabat yang membangunkan.
Waktu bergulir, satu per satu pergi,
Sahabat, kerabat, keluarga dipanggil kembali,
Ingatlah jiwa, hidup ini hanya singgah,
Tak ada yang kekal, kecuali Allah.
“Setiap yang bernyawa pasti akan merasakan mati. Dan hanya pada hari kiamat sajalah diberikan dengan sempurna balasanmu.” (QS. Ali Imran: 185)
Maka jangan takut pada bosan,
Sebab ia bukan akhir perjalanan,
Ia hanya tanda, agar hati kembali pulang,
Menuju Dia, tujuan sejati kehidupan.
Penutup: Bosan Bukan Musuh
Bosan bukanlah musuh yang harus dihindari, melainkan sahabat jiwa yang memberi tanda. Jakarta boleh sibuk, pekerjaan boleh padat, tapi hati kita tetap bisa menemukan jeda untuk bernapas, bersyukur, dan kembali pada makna hidup. (Sumurbatu 21082025)